Dibalik Sebuah Kedutan
M
|
entari
senja masih bersinar di ufuk barat. Seorang gadis berjilbab putih duduk santai
diteras belakang rumahnya ditemani dengan secangkir coklat pekat yang asapnya
masih mengepul keluar dari cangkir yang baru saja diseruputnya. Gadis itu
sangat menikmati cuaca saat itu. Langit tampak berwarna jingga, ditambah lagi
segerombolan burung yang beterbangan menghiasi langit. Pandangannya kabur,
gadis itu menghayal dalam lamunannya.
“Andai saja ada Ravi Murdianto disebelahku,
pasti tak akan sehampa ini.” Gerutu gadis itu.
Seketika itu juga lamunannya terbuyar. Gadis itu langsung
berlari memasuki rumahnya. Tapi tak lama kemudian, gadis yang kerap dipanggil Dwi itu telah kembali
menduduki bangku yang sempat ditinggalkannya tadi. Tapi tunggu dulu, gadi itu
keluar membawa sebuah buku berwarna biru. Tanpa diragukan lagi, buku itu adalah
buku berharganya, buku dimana semua curahan hatinya berada didalamnya. Diary! Yaa, itu buku Diary. Didalam buku
Diarylah Dwi merakit kata dimana lisan malas untuk berbicara. Gadis itu memilih
untuk bungkam, ia lebih memilih menggoreskan tinta didalam kertas putih
kesayangannya.
Rentetan-rentetan kata telah tersusun rapi dalam buku
Diarynya. Ia membaca sejarah terakhirnya yang sempat ia bubuhkan didalam buku
Diarynya. Pikirannya memaksanya untuk memutar ulang kejadian 2 hari sebelumnya.
Dimana 4 gadis berkumpul diterminal. 4 gadis berjilbab yang masing-masing
memiliki nama Dwi,Nurul, Luri,
dan adiknya Luri yang bernama Lilik.
“Hey!
Maaf ya nunggu lama.”
Timpal Dwi yang baru saja sampai diterminal.
“Gakpapa,
maaf juga ya sempet buat kamu kecewa, tadinya aku beneran gak dibolehin pergi
sama bapakku. Tapi setelah aku bujuk-bujuk lagi, Alhamdulillah aku diijinkan.”
Jawab Nurul dengan nada dan tampang yang melas.
“Iya
Wi, maafin aku juga ya, tadi malem nyaliku tak cukup besar untuk ijin sama
bapakku. Soalnya aku udah yakin banget kalau bapakku gak ngijinin.” Sahut Luri kemudian.
“Haha
gakpapa lah. Yang penting kan kenyataan menjawab lain. Buktinya kalian udah ada
disini sekarang, tinggal menuju kelangkah selanjutnya. Eh by the way, kamu
habis nangis ya Rul?”
tanya Dwi dengan tatapan tajam kearah Nurul.
“Iya
Wi, habis kalau nggak nangis gak bakal diijinin, tapi bukan berarti ini nangis
jadi-jadian.”
“Oalah,
yaudah yukk kita beli apa ni sebelum berangkat? Kan nggak lucu datang dengan
tangan kosong.” Tanya
Dwi
“Buah
aja, waktunya udah mepet nih. Udah jam 11:30.”
Setelah buahnya berhasil didapat, mereka langsung masuk
kedalam bus jurusan Semarang. Entah kemana arah yang akan mereka tempuh. Mereka
dalam kebimbangan, memiliki tujuan namun tak tahu arah. Bus yang mereka
tumpangi berhenti di pasar Godong lamaaa bangeet. Gerah! Risau yang mereka
rasakan. Jarum jam masih berputar pada porosnya, keempat gadis tadi pada
ngedumel massal. Pak sopir tak segera menempati posisinya. (Tik..tik..tikk..)
Beberapa menit kemudian, Pak sopir mulai menyalakan mesinnya, pertanda siap
untuk melaju.
***
Sekitar pukul 12:30, mereka telah memasuki daerah Tegowanu,
mereka bergegas untuk mendekati kernet bus tersebut.
“Pak kami turun Tegowanu kulon ya.” Pinta Dwi kepada kernet bus.
“Tepatnya sebelah mana dek?”
“Pasar Pak.”
Mereka telah sampai di Pasar Tegowanu. Tapi yang mereka
dapatkan hanyalah dalam kebimbangan.
“Mau
kearah mana kita?”
tanya Luri.
“Entahlah,
tanya aja sama mbak-mbaknya yang jual buah itu.” Jawab Nurul.
“Wi,
kamu aja ya yang tanyaaa??” pinta mereka kepada Dwi.
Mau tak mau Dwi menuruti permintaan mereka agar lekas sampai
ketempat yang mereka tuju.
“Assalamualaikum,
mbak mau tanya RT.10 RW.01 itu disebelah mana ya?” tanya Dwi memberanikan dirinya.
“Maaf
mbak, saya nggak tahu.”
Sial, ternyata orang tersebut nggak tahu. Tapi itu tak
berarti membuat mereka berhenti begitu saja. Seperti kata pepatah Malu bertanya
sesat dijalan. So, mereka memanfaatkan mulut mereka untuk bertanya
lagi. Mereka mulai melanjutkan perjalanan lagi, entah arah yang mereka tuju
benar atau salah. Mereka menemukan pangkalan ojek, bukan berarti mereka mau
ngojek, akan tetapi sekedar untuk tanya alamat. Setelah mengetahui alurnya,
mereka mulai melanjutkan perjalanan lagi.
“Eh
tau gak, tempo hari aku berkedut di ekor
mata sebelah kanan. Konon katanya akan bertemu dengan orang jauh. Yang
dimaksud kak Ravi apa temenku yang tahun baru ntar mau pulang ya? Padahal waktu
itu belum ada rencana mau pergi kerumah kak Ravi. Aku sempet bilang sama Nisa
saat aku berkedut, eh katanya aku mau nangis, yaa karena aku penasaran yaa aku
browsing, tapi mbah google menjawab lain.” Kata Dwi panjang lebar yang ditanggapi kawannya mungkin itu
pertanda akan beretemu Ravi.
***
Langkah mereka terhenti didepan Masjid, mereka mampir untuk
bertemu-Nya sejenak agar mendapat petunjuk dan ridho-Nya. Next, karena masih
ragu dengan arah yang akan mereka tempuh, mereka mampir kesalah satu rumah
warga untuk mendapatkan kepastian.
“Assalamualaikum,
mau tanya RT.10 RW.01 itu dimana ya Buk?” Lagi-lagi Dwi bertanya.
“Oh MAS RAVI ?!!” sahut salah satu bapak diantara
mereka dengan refleks.
Deg!
Jgeeerrr! “(Kenapa bapak itu tahu? Ahh! SIAL! Ini
membuat kami malu!)” kata Dwi dalam hati.
“Hehe,
iya Pak.” Jawab Dwi
singkat.
Mereka segera pergi dari tempat itu setelah mengetahui
arahnya karena tak sanggup lagi menahan malu. Suara terbahak-bahak melengkapi
hari itu karena menahan malu. Mereka melihat rumah dengan cat warna kuning
seperti yang pernah mereka lihat difoto. Namun bentuk rumahnya tak sama.
Alhasil mereka bertanya lagi kepada seorang wanita yang dikerumuni banyak anak
kecil. Tapi jawaban yang mereka dapat mengecewakan.
“Mas
Ravinya nggak dirumah, kemarin dia pergi sama orang tuanya.”
“Trus
pulangnya kapan?”
“Nggak
tahu.”
“Tapi
rumahnya dimana mbak?”
Dwi masih terus ingin tahu karena tak bisa menerima kenyataan yang ada.
“Kamu
lurus terus, nanti ada papan namanya.”
Tampak kusut dan layu tampang mereka setelah mendapatkan
info yang masih menjadi tanda tanya apakah benar atau salah. Benar! Terdapat
papan nama bertuliskan “RAVI MURDIAN” tanpa “O” dibelakangnya. Tapi dimana
rumah cat warna kuningnya? Mereka mulai berbelok kerumah itu dan bertanya lagi
pada wanita cantik berpakaian rapi dan membawa tas sedang duduk diteras rumah.
Kata wanita tersebut, rumah Ravi berada di gang masuk disebelah rumah tersebut.
Dan ketika mereka menanyakan kepastian ada atau tidaknya Ravi, ternyata wanita
itu tidak tahu karena dia bukan asli orang situ.
Mereka masuk menyusuri gang tersebut dan melihat 2 gadis SMP
berdiri disamping warung. Mereka juga penggemarnya Ravi
Murdianto sang Kiper Timnas U-19. Nyali mereka tak cukup besar untuk
melangkahkan kaki ke area rumah sang idola mereka. Disamping rumah Ravi
Murdianto tampak Ibu Ravi sedang bercakap-cakap dengan tatangganya. Sudah
terlanjur sampai, mau tidak mau mereka harus mengumpulkan nyali untuk menemui
ibunya untuk memastikan apakah Ravi ada dirumah.
“Assalamualaikum,
Kak Ravinya ada dirumah apa endak buk?” Dwi mulai bertanya dengan nada yang terbata-bata.
“Yaa,
sedang istirahat.”
“Maaf,
kami boleh ketemu buk?”
“Yaa
duduk dulu, karpetnya digelar saja.”
“Oh
iya buk, makasih.”
Mereka pun menuruti apa yang diperintahkan ibunya.
Alhamdulillah Ravi ada dirumah. Trus kata wanita tadi? Omong kosong! Mungkin ia
tidak mengetahui jika Ravi telah pulang. Tik.. tik.. tik.. Jarum jam terus
berputar, tapi Ravi masih saja belum keluar. Semakin sore. Tapi kemana Ravi?
Apa dia gak mau menemui penggemarnya? Apa dia masih capek makanya jam
istirahatnya gak mau diganggu? Entahlah. Yang jelas sudah setengah jam Dwi dan
kawan-kawannya menunggu. Hingga adiknya Ravi yang awalnya dari rumah tetangga
masuk kerumah, mungkin untuk membujuk Ravi atau mungkin memang ingin pulang
kerumahnya. #Shiiiitt, pintu terbuka! Bukan Ravi yang keluar, melainkan adiknya
Ravi yang masuk kedalam rumah. Mata Dwi tertuju kedalam rumah, yang ia dapati
adalah berbagai mendali terpampang nyata di dinding. Waaaw! Ada juga foto
TIMNAS U-19 yang dipajang, sayangnya pintunya terbuka sedikit, jadi tak bisa
mengintip lebih jauh lagi.
Sekitar 3 menit setelah adik Ravi masuk rumah, tiba-tiba ada
2 bocah main nylonong masuk begitu saja kedalam rumah Ravi. Awalnya Dwi dan
kawan-kawannya mengira 2 bocah laki-laki itu tetangganya Ravi. Tapi ternyata
bukan, 2 bocah itu juga penggemarnya Ravi, salah satu diantara mereka ada yang
membawa kaos yang diumpetkan didalam bajunya untuk minta tanda tangan Ravi.
Selang beberapa menit tiba-tiba ada lelaki yang keluar menemui mereka dan
melontarkan pertanyaan begitu saja.
“Mau minta foto?” dengan nada yang sedikit kurang
enak didengar.
Mereka pun disuruh masuk. Jebreeett! Ketika mereka berhasil
melangkahkan kaki memasuki garis pintu rumah Ravi, mereka mendapati sang idola
mereka “Ravi Murdianto” berdiri dengan memakai kaos berwarna merah yang tepat
sekali saat itu Dwi memakai kaos berwarna putih, jadi jika digabungkan menjadi MERAH PUTIH, lalu Ravi memakai celana pendek berwarna biru, dan
sebuah spidol dalam genggaman tangan Ravi. Hmm, tinggi, putih, tampan, ideal
banget. Langsung to the point tanpa basa-basi lagi. Mereka berfoto secara
bergantian dan meminta tanda tangan. Sayangnya Dwi lupa membawa kaos, yang ada
dipikirannya adalah bertemu bertemu dan bertemu Ravi. Hanya ada topi dan jaket
kelas. Alhasil ia meminta Ravi untuk menandatangani topi sekolahnya dan jaket
kelasnya. Awalnya Nurul yang meminta tanda tangan dijaket karena tak ada barang
lain, yaa Dwi dan Luri ikut-ikut saja. Sedangkan Lilik di kaos yang sudah
disiapkannya dari rumah.
Begitu singkat, Ravi buru-buru masuk kedalam ruangan lain
seperti menghindar dari penggemarnya. Mungkin dia masih capek, atau mungkin ia
menghindari pertanyaan yang akan dilontarkan oleh para penggemarnya. Sekalipun hanya
begitu, itu telah membuat mereka bahagia. Sebelum mereka berpamitan, Dwi
menyerahkan buah tangan yang sempet dibeli diterminal. Eh ada 2 orang cowok
sebaya dengan Dwi yang juga penggemarnya Ravi asal menjeplak.
“Bawa beras
berapa kilo ituu hahaha.”
Tingkah 2 cowok itu konyol juga bikin emosi dari tadi.
Begitu singkat, tidak ada setengah jam mereka bertemu Ravi. Payahnya saat Ravi
merangkul bahu Dwi untuk berfoto, badannya bergetar, ia merasa sangat malu!
Getarannya pun juga dirasakan Lilik adiknya Luri saat Dwi menyerahkan ponselnya
untuk menjepret mengambil beberapa gambar.
Waktunya untuk pulang, dan tak disangka bus yang tadinya
ditumpangi saat berangkat ke Tegowanu, kini kembali mereka tumpangi lagi.
Kernetnya ternyata tak lupa dengan mereka, bahkan kernetnya dulu yang
mengingatkan mereka haha. Sepanjang perjalanan yang mereka omongkan seputar
Ravi Murdianto. Kurang puas tapi sudah Alhamdulillah yang mereka rasakan.
***
Lamunan Dwi membuyar, dia baru sadar bahwa ia harus kembali
menuangkan pengalaman hidupnya hari itu dalam buku Diary. Ia langsung merakit
kembali rentetan kata untuk ditulisnya kedalam buku Diary.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar